Minggu, 30 Januari 2011

STANDAR MUTU MADU LEBAH INDONESIA

Di Australia, Amerika Serikat, Perancis dan Jerman, lebah madu merupakan komoditas penting. Serangga ini menghasilkan madu (nektar), madu ratu (royal jelly), serbuk sari (polen) dan lilin lebah. Subsektor farmasi kita, masih harus mengimpor madu dari empat negara tadi. Selain sebagai penghasil madu, di empat negeri maju tersebut, lebah juga diurus oleh Departemen Pertanian mereka. Sebab fungsi lebah bukan sekedar menghasilkan madu, melainkan juga untuk meningkatkan hasil pertanian. Baik pertanian tanaman pangan seperti jagung, gandum, kedelai, kacang tanah dan bunga matahari maupun tanaman hortikultura, khususnya buah-buahan seperti apel, pear, peach, anggur dan jeruk. Di negara-negara tadi, peternak lebah diregistrasi dan informasi tentang keberadaan mereka disebarluaskan kepada para petani. Setiap saat ketika tanaman mulai berbunga, para petani akan menelepon peternak lebah untuk mendatangkan stup (kotak sarang) ke kebun mereka. Untuk itu, para petani akan memberikan fee kepada peternak lebah. Sebab lebah-lebah itu memang mereka perlukan dalam rangka polinasi (penyerbukan) agar hasil panen sesuai dengan standar nasional yang sudah ditetapkan. Itulah yang terjadi di negara-negara yang pertaniannya telah maju.
Di Indonesia, Departemen Pertanian (Deptan) kita dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, sama sekali tidak mau mengurus lebah tanpa alasan yang jelas. Kalau lebah dianggap sebagai bukan ternak dan fungsinya lebih ditujukan untuk alat penyerbukan tanaman, terutama tanaman hortikultura, mestinya perlebahan kita akan diurus oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura dan Aneka Tanaman. Tetapi sampai dengan saat ini tidak pernah ada satu bagian terkecil pun di Departemen Pertanian kita yang menaruh perhatian terhadap serangga ini. Untunglah Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka dan PT. Perhutani telah turun tangan untuk menangani peternakan lebah. Kwarnas Pramuka dengan Pusat Apiarinya sudah sejak tahun 1960-an menangani pengembangan peternakan lebah di Indonesia. Pusatnya ada di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta dengan lokasi pelatihan di Gringsing, Batang, Jawa Tengah dan di Goalpara, Sukabumi, Jawa Barat. Pusat Apiari Pramuka selain menyelenggarakan pelatihan juga menyediakan bibit, peralatan, bimbingan teknis sekaligus membantu pemasaran apabila peternak binaan tersebut masih mengalami/menghadapi kesulitan memasarkan produknya. Tetapi dalam praktek, sebagian besar peternak Binaan Apiari Pramuka setelah secara teknis mandiri tidak pernah merasa kesulitan memasarkan produk mereka.
PT. Perhutani, BUMN yang mengelola hutan di pulau Jawa juga ikut menangani pengembangan ternak lebah. Melalui Program Perhutanan Sosial (Social Forestry), Perhutani membentuk kelompok-kelompok tani hutan. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah beternak lebah dengan memanfaatkan areal tanaman reboisasi seperti kaliandra, albisia, akasia dan lain-lain. Perhutani juga memberikan dukungan dana Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK) untuk pengembangan kegiatan tersebut. Meskipun sudah ada dua institusi yang menangani perlebahan nasional secara serius, tetap saja Indonesia masih masih kekurangan madu hingga masih harus melakukan impor. Tetapi kalau kita menjumpai para peternak lebah, masih saja mereka mengeluh kesulitan memasarkan produk mereka. Hingga sering keluar tuduhan bahwa Apiari Pramuka maupun Perhutani telah berbohong. Padahal, Indonesia memang benar masih kekurangan madu dan peternak lebah juga benar kesulitan memasarkan produk mereka. Kontroversi ini terjadi karena kualitas madu yang dihasilkan oleh para peternak, masih belum bisa memenuhi standar kualitas kalangan farmasi. Kadar air madu yang dihasilkan para peternak masih berkisar sekitar 20% s.d. 25%, bahkan kadang-kadang lebih tinggi lagi. Sementara yang dituntut oleh dunia farmasi adalah madu dengan kadar air maksimal 18%.
Memang pernah ada permintaan dari pihak peternak lebah, agar kalangan farmasi membeli madu mereka yang berkadar air lebih dari 20% lalu memprosesnya lagi sampai kadar airnya tinggal 18%. Tetapi biaya untuk menurunkan kadar air madu, ternyata lebih mahal jika dibandingkan dengan biaya impor. Karena itu para pengusaha farmasi tetap memilih impor madu daripada memperbaiki madu lokal kita. Untuk dapat memenuhi kriteria kalangan farmasi tersebut, sebenarnya peternak kita bisa melakukannya dengan sangat sederhana. Hanya saja pendapatan mereka akan terkurangi. Tingginya kadar air madu kita, disebabkan oleh tingkat kelembapan kawasan tropis yang juga sangat tinggi (sekitar 60% s.d. 80%). Beda dengan kawasan subtropis yang tingkat kelembapan udaranya sangat rendah (di bawah 50%). Tingginya kualitas madu Arab atau madu Sumbawa bukan hanya sekadar mitos, melainkan karena kawasan Timur Tengah dan NTB serta NTT memang sangat kering. Hingga kadar air madu dari kawasan ini bisa kurang dari 18%. Lebah sebenarnya memiliki cara sendiri untuk menurunkan kadar air madu yang mereka kumpulkan, dengan mengipas-ngipas menggunakan sayap serta memanaskannya dengan panas tubuh mereka. Setelah kadar air madu tinggal 18%, lebah-lebah pekerja akan menutup sarang tempat penyimpanan madu tadi.
Jadi kalau peternak memanen madu setelah sarang-sarang tadi ditutup, maka kadar air produk mereka dijamin paling tinggi 18%. Tetapi untuk itu, peternak harus bersedia menunggu antara 13 sampai dengan 15 hari semenjak sarang penuh dengan madu. Biasanya apabila lebah digembalakan di kebun kapuk yang tengah berbunga, dalam satu hari penggembalaan saja, semua frame sarang dalam stup akan penuh madu. Peternak yang tidak sabar akan segera memanen madu tersebut dengan memasukkan frame ke dalam alat sentrifugal. Sarang yang telah kosong dikembalikan ke dalam stup dan esoknya akan kembali penuh lagi. Demikian seterusnya hingga volume madu yang diperolehnya sangat besar. Namun dari segi kualitas, madu tersebut masih berkadar air di atas 20%. Kalau peternak bersedia menunggu lebah-lebah tadi menurunkan kadar air madu mereka dan baru memanen ketika sarang telah ditutup, maka kualitas madunya akan sama dengan madu impor. Dengan kualitas demikian, perernak tidak akan pernah kesulitan untuk memasarkan madu mereka, karena kalangan farmasi pasti akan bersedia menampungnya; berapa pun produk yang dihasilkan peternak. Itulah penyebab utama kontroversi pemasaran madu di Indonesia. Di satu pihak peternak kesulitan memasarkan, di lain pihak kalangan farmasi harus mengimpor madu.
Lebah yang dikembangkan menjadi agroindustri penghasil madu, madu ratu, polen dan lilin lebah adalah jenis Apis mellifera yang dulu bibitnya diimpor. Jenis lebah lokal kita Apis indica, meskipun bisa dipelihara dalam batang kayu barongga (glodog), tetapi tidak bisa digembalakan hingga hasil madunya sangat rendah. Selain itu masih ada lagi lebah hutan yakni Apis dorsata. Bentuk lebah pekerja Apis mellifera agak pendek dan gemuk, warna tubuh serta sayapnya coklat terang kekuningan. Ukurannya sedikit lebih besar dari Apis indica. Tubuh lebah lokal kita lebih kecil dan juga lebih ramping. Warnanya coklat tua. Lebah hutan Apis dorsata berukuran lebih besar dari Apis mellifera, tetapi bentuk badannya ramping dan warnanya coklat gelap kehitaman. Lebah budidaya Apis mellifera tidak dapat membangun sarang apabila dalam frame tersebut tidak ada fondasi sarang. Karena itu frame sarang lebah peliharaan harus diberi fondasi dari logam. Sarang Apis mellifera dan indica sama-sama tersusun berupa sisir-sisir lempengan. Sementara sarang Apis dorsata hanya berupa satu sisir yang akan terus memanjang. Biasanya lebah hutan ini membangun sarangnya di dahan pohon-pohon hutan yang besar, tinggi dan berbatang licin. Misalnya pohon jelutung, kemang, pucung, bendo dan lain-lain. Madu Sumbawa dan Kalimantan adalah madu lebah Apis dorsata yang dipanen dari hutan dengan mengikutsertakan anak-anak lebahnya. Pengambilan madu lebah Apis dorsata dengan cara demikian akan mempercepat kepunahan jenis lebah ini.
Kawasan tropis seperti Indonesia ini, sebenarnya lebih berpotensi untuk menghasilkan madu dibanding dengan kawasan negeri empat musim. Di Australia, Amerika Serikat dan Eropa, panen madu serta polen hanya terjadi dua kali dalam setahun, yakni pada musim semi serta musim panas. Selanjutnya pada musim gugur dan musim dingin, lebah harus diberi makan gula atau sirup. Di Indonesia lebah bisa digembalakan sepanjang tahun. Sebab musim berbunga tanaman pangan, hortikultura serta tanaman hutan terjadi sepanjang tahun. Hingga praktis pemberian makan terhadap lebah-lebah ini, jangka waktunya lebih pendek. Yakni pada saat peralihan penggembalaan dari satu areal lahan ke areal lahan lainnya. Apabila jaraknya cukup jauh, pada saat istirahat lebah perlu diberi makan. Jenis tanaman yang paling banyak menghasilkan polen adalah jagung. Di Indonesia, jagung ditanam sepanjang tahun. Pada musim penghujan komoditas ini ditanam di lahan kering, sementara pada musim kemarau penanamannya dialihkan di lahan sawah. Buah-buahan yang banyak menghasilkan madu antara lain apel, lengkeng, rambutan, pisang dan durian. Dengan catatan, pengambilan madu durian akan dilakukan lebah pada pagi-pagi sekali atau sore hari. Sebab mekarnya bunga durian terjadi pada malam hari. Tanaman yang paling banyak menghasilkan madu adalah kapuk randu. Karena itu harga madu kapuk tergolong yang paling murah. Jenis-jenis madu yang dihasilkan oleh lebah Apis mellifera memang sangat bergantung pada jenis bunga (tanaman) yang tumbuh di areal penggembalaan. Beda dengan lebah Apis dorsata dari Sumbawa, bisa berwarna jernih karena merupakan madu bunga rumput.
Pusat Apiari Pramuka telah mendata berbagai jenis tanaman penghasil madu berikut musim berbunganya. Hingga para peternak lebah dapat dengan mudah mencari alternatif areal penggembalaan. Modal awal beternak lebah masih tergolong kecil. Dengan uang antara Rp 20.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- seorang calon peternak sudah bisa memulai bisnis ini secara full time. Karena adanya bimbingan teknis dari Apiari Pramuka maupun Perhutani, maka bisa dipastikan kesulitan-kesulitan teknis akan teratasi dengan relatif mudah. Yang diperlukan hanyalah kejelian mencari areal penggembalaan. Karena lebah harus terus-menerus digembalakan, maka mereka yang tidak memiliki lahan sama sekali pun bisa beternak lebah. Hanya saja, kondisi Indonesia masih belum seperti di Eropa atau AS. Di sini, peternak lebah yang menggembalakan ternaknya di kebun kapuk atau lengkeng justru harus membayar ke pemilik kebun. Padahal, para peternak lebah ini akan melipatgandakan hasil pertanian para pekebun tersebut. Inilah yang juga membuat agroindustri madu di Indonesia tidak bisa berkembang secara sehat. Ditambah lagi dengan cueknya Departemen Pertanian kita dalam urusan perlebahan. Kalau Deptan memang tidak berkenan menangani komoditas ini sebagai ternak mestinya masih tetap bersedia untuk memfungsikannya sebagai sarana peningkatan hasil pertanian melalui penyempurnaan proses penyerbukan. (R) ***

Tidak ada komentar: